Scroll untuk membaca artikel
Disway

Solar, Curah

17
×

Solar, Curah

Share this article
Foto: Disway

SAYA menerima kiriman humor ini tidak hanya dari satu pengirim. Setiap kali mau tersenyum, saya tahan: ini memang humor, tapi tidak untuk ditertawakan. Bacalah sendiri:

 

Di TV, sepanjang hari kemarin –dan hari sebelumnya– memang banyak disiarkan berita orang antre: minyak goreng curah dan antre minyak solar.

Contoh antrean solar yang membuat saya sulit tersenyum adalah yang di Surabaya ini. Dua wartawan Harian Disway –Salman Muhiddin dan Celina Natalis Sitorus– menulis mirip di humor tersebut –tapi terjadi beneran.

Sebanyak 1.000 kontainer terlambat tiba di pelabuhan. Kapal-kapal yang akan dinaiki kontainer itu sudah telanjur berlayar.

Ternyata truk yang mengangkut kontainer itu masih bermalam di berbagai stasiun pompa bensin –SPBU.

Tidak cukup solar di berbagai SPBU di Jatim.

Pembelian solar dibatasi hanya Rp 100.000.

Truk pengangkut kontainer merasa lucu, tapi hanya bisa menggerutu. Dengan solar seharga Rp 100.000, bisa-bisa truk justru kehabisan solar di suatu tempat yang jauh dari SPBU.

Sang sopir pilih mencari tempat minggir tidak jauh dari SPBU. Sopir lain pun bersikap sama: menunggu solar datang.

Malam pun tiba. Sambil antre, sopir dan kernet tidur bergantian –salah satu menunggu muatan agar tidak dicuri orang. Atau dijaili orang usil.

Malam pun meneruskan gelapnya sampai melewati dini hari.

Ada pemilik barang yang tidak sabar: banyak konsumen yang menunggu barang itu. Beras.

Maka, pemilik barang mengirim mobil pikap ke lokasi antrean truk. Sebagian beras dibongkar di situ. Pindah dari truk ke pikap. Dengan tambahan biaya.

Waktu bulan lalu saya melihat banyak antrean truk di sepanjang jalan dari Lampung–Baturaja–Enim–Linggau sampai Bengkulu, kelihatannya damai-damai saja. Tidak ada yang seperti digambarkan di humor tersebut. Tapi, begitu antrean terjadi juga di kota besar seperti Surabaya, ternyata akibatnya begitu berantai.

Apalagi, Salman dan Natalia berhasil juga mendapat keterangan dari Pertamina setempat. Antrean solar itu terjadi, ternyata, karena truk tangki pengangkut solar dipakai untuk mengatasi antrean di Pertalite.

Pertamina, katanya, punya kebijakan baru di hari itu: mengerahkan truk-truk tangki untuk mengangkut Pertalite. Itu sebagai antisipasi melonjaknya permintaan Pertalite –setelah harga Pertamax dinaikkan.

Saya lupa berapa harga Pertamax yang baru –lalu dipaksa ingat Rabu kemarin: ketika dari Semarang harus mampir ke Selo, kecamatan di selangkangan Gunung Marapi dan Merbabu di Boyolali. Saya kehabisan bensin. Lalu, ada Pertamini di pinggir jalan –pompa bensin milik perorangan.

Pompa bensinnya diletakkan di depan toko. Unitnya persis di SPBU –tapi hanya satu unit. Sistemnya juga sudah digital. Persis di SPBU Pertamina.

Harga Pertamax di situ: Rp 13.500/liter. Kami beli Rp 200.000 saja –cukup sampai SPBU Pertamina. Kami ingin tahu berapa harga baru di SPBU: Rp 12.500/liter.

Meski unit Pertamini itu sama dengan yang ada di Pertamina, asal-usul Pertamax-nya yang berbeda. Pemilik Pertamini ternyata membeli Pertamax pakai jeriken. Lalu, dituangkan ke unit yang serbadigital itu. Fungsi alat modern tersebut tidak lebih seperti corong minyak yang terbuat dari seng.

Saya tidak pernah mengecam kenaikan BBM –di saat harga minyak mentah memang begitu tinggi. Tapi, antrean yang sampai membuat begitu banyak kontainer ketinggalan kapal betapa keuntungan di hulu sangat merugikan di hilir.

Tapi, mengapa masih ada antrean minyak goreng curah?

Bukankah pemerintah sudah memilih cara BLT –bantuan langsung tunai? Agar orang miskin tetap mampu membeli minyak goreng kemasan yang harganya naik?

Mungkin karena BLT-nya baru akan diberikan hari ini –atau besok.

Apakah lusa tidak akan ada antrean lagi karena mereka sudah mampu membeli minyak goreng premium dengan uang BLT?

Kita lihat saja: sambil menunggu siapa sebenarnya pembeli minyak goreng curah itu. Apakah uang BLT Rp 300.000 untuk tiga bulan itu juga dibelanjakan untuk membeli yang curah. Karena uang BLT tidak beda dengan uang biasa, tentu tidak bisa mengetahuinya.

Rasanya sepanjang harganya masih lebih murah daripada premium, minyak curah masih akan tetap diminati. Sekaligus bisa dipakai mengecek apakah itu pertanda daya beli masyarakat menurun.

Selamanya harga minyak curah memang akan lebih murah. Biaya membuat minyak goreng curah memang lebih murah. Pengusaha menengah mampu membuat pabrik minyak goreng curah.

Ada satu proses yang tidak perlu dilakukan di produksi minyak curah: deodorisasi. Juga, tidak perlu ada investasi mesin pengemas. Pun, tidak membeli plastik kemasan yang mahal.

Bahan baku minyak premium dan minyak curah sama: sama-sama CPO. Yakni, minyak sawit dari hasil pemerasan buah sawit.

Warna cairan CPO itu masih oranye kecokelatan.

CPO itulah yang dikirim ke pabrik minyak goreng. Untuk diproses sebanyak tiga tahap. Pertama, dilakukan degumming –dibersihkan dari kotoran-kotoran yang karena begitu kecilnya sulit dibuang dengan saringan. Kedua, di-bleaching, dicuci. Ketiga, dideodorisasi –untuk membuat warna lebih cling dan aroma lebih gurih.

Minyak curah tidak perlu proses yang ketiga itu. Tapi, tetap mengandung beta karoten yang bisa menjadi vitamin B, mengandung provitamin A dan provitamin C. Artinya, badan akan bisa mengolahnya menjadi vitamin A dan C.

Proses pertama dan kedua tetap dilakukan. Hanya saja, kadar kotorannya tidak sebersih premium. Kadar pencuciannya pun lebih rendah. Lalu, tadi itu, tanpa deodorisasi.

Tidak ada industri besar yang membuat pabrik untuk minyak curah. Semua minyak curah produksi pabrik kecil.

Akhirnya, minyak goreng curah itu akan dianggap sama mutunya dengan minyak premium –kalau ada yang nakal: membeli minyak curah, dikemas secara baik, lalu dijual dengan harga minyak premium. (*)