BANDAR LAMPUNG – Budayawan Lampung Iwan Nurdaya-Djafar bakal menyampaikan Pidato Kebudayaan di Gedung Dewan Kesenian Lampung, Komplek PKOR (Gelanggang Sumpah Pemuda), Wayhalim, Bandarlampung Sabtu (18/09) pukul 16.00 WIB.
Pidato Kebudayaan ini merupakan program kreatif Akademi Lampung dapat disaksikan di kanal YouTube Dewan Kesenian Lampung.
Ketua Akademi Lampung Anshori Djausal di Bandar Lampung mengatakan, pidato kebudayaan merupakan proggram berkala.
Kesempatan perdana, Pidato Kebudayaan disampaikan budayawan Lampung Iwan Nurdaya-Djafar.
Dihubungi terpisah, penyair Lampung Ahmad Yulden Erwin Pidato kebudayaan Bang Iwan bukan hanya melaporkan kegiatan kesenian seniman dan lembaga kesenian Lampung pada masa pandemi covid 19.
“Tetapi pidato kebudayaan itu juga mengkaji fenomena yang terjadi secara mendalam. Saya sudah membaca, menurut saya itu pidato kebudayaan yang bagus,” ujar Erwin yang sudah merampungkan membaca materi Pidato Kebudayaan tersebut.
Sementara itu, Iwan menuturkan, dirinya akan membawakan pidato dengan tajuk “Berkesenian di Musim Pagebluk”.
Seniman yang produktif menulis buku ini mengatakan, pagebluk adalah padanan kata pandemi.
Di musim pagebluk yang hampir dua tahun lebih melanda bumi yang kita huni ini, cukup banyak korban yang meninggal, diantaranya para seniman. Selalu ada rasa kehilangan yang lebih, manakala kita mendengar seorang seniman wafat. Seniman adalah sosok yang tak tergantikan.
“Kata orang, tidak akan pernah ada drama Romeo and Juliet seperti yang dihasilkan oleh William Shakespeare. Hal ini, justru karena sifat subyektif seniman yang melekat pada karya tersebut. Kepada para seniman yang telah mendahului kita, kita doakan agar berakhir baik dan beroleh tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa, ” ujar penerjemah karya-karya sastra dunia ini berharap.
Lebih jauh iwan yang juga Sekretaris Akademi Lampung, mengutip sebuah pepatah latin yang menyebutkan, ars longa vita brevis; seni itu abadi, hidup itu singkat.
“Seorang seniman kreatif yang wafat memang membawa mati kepiawaian seninya, tetapi mestilah meninggalkan warisan berupa karya ciptanya. Maka, meskipun sang seniman sudah berpulang, kita dapat terus mengapresiasi karya-karya yang diwariskannya, ” tandasnya.
Iwan yang juga dikenal banyak menerjemahkan buku-buku sastra karya sastrawan dunia ini menambahkan, jika diperhatikan, kegiatan berkesenian di musim pagebluk ini, banyak memanfaatkan media virtual. Hal ini menandai terjadinya pergeseran fenomena dari aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya.
Fenomena ini disebut disrupsi atau perubahan besar yang mengubah tatanan, seperti ditandaskan Clayton M. Chisthensen dalam bukunya The Inovator Dilemma yang terbit pada 1997. Disrupsi membawa konsekuensi pada cara dan pendekatan baru, karena khalayak dan lanskap yang berubah baik di bidang komunikasi, bisnis, dan lainnya.
Iwan juga menegaskan, seniman adalah salah satu yang paling terdampak gempuran pagebluk covid 19. Karena itu, seniman ditantang untuk menciptakan karya seni dalam konteks kreasi baru.
Seniman yang kehilangan panggung atau wadah kegiatan karena pagebluk, dengan dukungan tekonologi digital memindahkan tempat pentasnya ke panggung digital, melalui fitur live streaming dengan aplikasi Zoom, Instagram, Facebook, Youtube dan lainnya.
“Di era disrupsi ini justru para seniman mempunyai panggung virtual untuk dinikmati oleh khalayak di seluruh pelosok dunia. Di era disrupsi, dengan panggung digital seniman yang kreatif akan makin mendunia, ” terangnya.
Iwan menandaskan, terbukti bahwa para seniman dan lembaga-lembaga kesenian di Lampung tetap berkiprah pada musim pagebluk Covid 19. Dengan sikap kreatif mereka, para seniman menolak untuk berdiam diri terus berkreativitas dan berkarya.
“Mereka terus mencipta dan berkesenian di musim pagebluk ini. Maka, musim pagebluk menjelma semacam musim panen kesenian di tangan para seniman Lampung,” ujar Iwan mengunci perbincangan. (rls/coy)