GODAAN dan bujuk rayu mendapatkan dana instan melalui pinjaman online (pinjol) ilegal masih sangat digandrungi masyarakat Indonesia. Karena terjepit ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga untuk pemenuhan gaya hidup menjadi alasan seseorang klik aplikasi pinjol illegal.
Padahal pinjol yang tak memiliki lisensi dari Otoritas Jasa Keuangan ini berdampak dengan bunga kredit mencekik dan tak masuk akal tentunya.
Data OJK menyebutkan banyak profesi yang terjerat pinjol. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi membeberkan fakta terkait pinjol ilegal.
Total ada 42% korban pinjol ilegal adalah guru. Namun tidak disebutkan berapa angka komposisi guru honorer dan PNS yang terjerat pinjol ilegal.
Untuk diketahui data Persatuan Guru Republik Indonesia hingga tahun 2022, jumlah guru di NKRI mencapai 3.357.935. Dengan komposisi sebanyak 1.754.555 atau lebih dari 53 % adalah guru honorer. Sisanya sebanyak 1.603.380 adalah guru PNS.
Bisa jadi, mayoritas guru yang terjerat pinjol ilegal memiliki latar belakang honorer. Yang gajinya sangat kecil, dan pembayarannya tak jelas.
Kalangan masyarakat paling banyak terjerat pinjol:
1. Guru 42%
2. Korban PHK 21%
3. Ibu Rumah Tangga 18%
4. Karyawan 9%
5. Pedagang 4%
6. Pelajar 3%
7. Tukang pangkas rambut 2%
8. Pengemudi ojek online 1%.
Perempuan Lebih Banyak Berutang
OJK mencatat persentase sebesar 54,95% perempuan mendapatkan jeratan pinjol sisanya laki-laki hanya 45,05% yang terlibat pinjol. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dan sasaran pinjol illegal karena wanita memiliki literasi finansial relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Dilansir dari riset No Limit Indonesia 2021, ada sejumlah alasan kenapa masyarakat terjerat pinjol. Sebanyak 1.433 orang terjerat pinjol untuk membayar utang, 542 orang karena latar belakang ekonomi menengah ke bawah.
Lalu, 499 orang karena ingin mencairkan dana lebih cepat. Kemudian, 365 orang memenuhi kebutuhan gaya hidup, dan 297 orang karena alasan mendesak.
“Yang parah adalah karena memenuhi kebutuhan gaya hidup. Hati-hati, jangan sampai ini menjadi budaya,” tuturnya. (*)