TANOH lado, merupakan salah salah satu julukan yang disematkan untuk Provinsi Lampung. Atas melimpahnya komoditas rempah dengan kualitas baik ini, menjadi salah satu penyebab kedatangan negara-negara Eropa untuk menjajah nusantara.
Lampung memang tidak bisa dipisahkan dari history lada/lado. Dikenal ke seantero jagat, jika bumi Lampung menjadi penghasil lada hitam atau black pepper terbesar sejak zaman penjajahan Belanda, Inggris, dan Portugis.
Komoditas lada merupakan salah satu rempah-rempah yang menjadi andalan Provinsi Lampung. Makanya lada menjadi salah satu bagian lambang provinsi di ujung Selatan Pulau Sumatera ini.
Namun upaya serius Gubernur Lampung Arinal Djunaidi melalui program Petani Berjaya dari awal hingga jelang akhir masa jabatannya, hanya sedikit yang nyata.
Petani lada berjuang sendiri mengembangan, merawat dan menghasilkan lada terbaik hingga meraih sertifikasi. Sertifikat merupakan legalitas merek Lada Hitam Lampung sebagai milik masyarakat Lampung penanda karakteristik cita rasa dan aroma khas yang tidak dimiliki daerah lain di dunia.
Ciri Lada Hitam Lampung
– bentuknya kecil dan padat
– memiliki tingkat kepedasan bertahan lama
– memiliki aroma sangat kuat
– warna hitam sampai kecoklat-coklatan
– kadar air maksimal 13 persen
– kadar piperine 3,29-4,7 persen
– minyak atsiri 1,14-2,89 persen
– oleoresin 12,8-15,20 persen.
Lada hitam itu dihasilkan dari buah lada (piper nigrum L) dari kelompok tanaman rempah paling tua, bernilai tinggi, dan populer di dunia. Bernilai karena pada zaman dulu lada hitam biasa digunakan sebagai alat tukar, pembayaran pajak, ataupun seserahan perkawinan.
Bahkan, lada dijuluki raja rempah-rempah. Selain digunakan sebagai bumbu karena baunya yang sangat tajam, lada juga digunakan untuk pengawet daging, obat, dan minyaknya untuk parfum.
Sejarah Lada Lampung Mendunia
Perkebunan lada di Lampung diusahakan oleh nenek moyang di wilayah dataran rendah seperti Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Timur dan sejumlah daerah lain.
Lada Lampung semakin tersohor tatkala provinsi ini dikuasai Kesultanan Banten abad 16. Lada Lampung dikenal dunia. Kebijakan masyarakat diwajibkan menanam dan memelihara lada sebanyak 500 batang.
Lantas, hasil panen wajib dijual kepada Kesultanan Banten. Meski tidak dikenai pajak, harga jual lada ditentukan oleh kesultanan. Popularitas King Of Spice mulai mendunia.
Kapal-kapal dagang dari China, Arab, dan Eropa mendatangi kawasan kota pelabuhan di Pesisir utara Laut Jawa. Pasar Karangantu dikenal sebagai pusat perdagangan internasional.
Di pasar itu, lada sebagai komoditas utama Kesultanan Banten menjadi barang yang banyak ditransaksikan. Sejak saat itulah, Lampung menjadi sumber pemasok utama bagi perdagangan lada di Banten.
Masuknya pengaruh Banten selain mencari rempah-rempah juga adalah misi penyebaran agama Islam. Bukti-buktinya bisa dilihat dari Piagam Tembaga atau Piagam Kuripan, yang ditemukan di rumah kerabat Radin Inten di Kampung Kuripan (Kecamatan Penegahan, Kabupaten Lampung Selatan).
Terdapat isi perjanjian persahabatan antara Sultan Hasanuddin dari Banten dan Ratu Darah Putih dari Keratuan Darah Putih Lampung.
Bukti lain kekuasaan Banten bisa dilihat pada Piagam Sukau berangka tahun 1104 hijriah atau kira-kira tahun 1695, saat mereka berwenang mengangkat dan memecat kepala-kepala daerah Lampung serta kewajiban mereka untuk mengumpulkan lada bagi Banten.
Lampung akhirnya dikuasai VOC, setelah mereka berhasil meruntuhkan kedaulatan Kesultanan Banten sehingga dapat memonopoli perdagangan lada di Lampung.
Sejak itu Belanda secara yuridis mempunyai perdagangan lada di Lampung. Sampai akhirnya Banten kehilangan kekuasaan di Lampung. Hingga tahun 1799 VOC bangkrut dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Di bawah kekuasaan Hindia Belanda, Lampung masih tetap sebagai produsen lada hitam terbesar di dunia. Tahun 1910-1930, ekspor lada Pemerintah Hindia Belanda ke pasar dunia rata-rata 25.000 ton per tahun atau menguasai lebih dari separuh kebutuhan dunia.
Satu dekade kemudian, ekspor lada menguasai 80 persen kebutuhan dunia. Sebagian besar produksi lada Hindia Belanda disumbang dari Lampung dan Bangka.
Upaya Setengah Hati Revitalisasi Lada
Saat ini, Lampung menjadi provinsi penghasil lada hitam terbesar di Indonesia, sekitar 52% areal perkebunan lada di Indonesia terdapat di Lampung dan Bangka Belitung.
Statistik Penghasil Lada
Komoditas lada berasal dari sejumlah sentra perkebunan, seperti Kabupaten Lampung Timur, Lampung Utara, Way Kanan, dan Lampung Barat.
Statistik Perkebunan Tahun 2020
1. Lampung Utara luas lahan 11.588 ha, kapasitas produksi sebesar 3.950 ton
2. Way Kanan luas lahan areal 9.259 ha, kapasitas produksi sebesar 1.625 ton
3. Lampung Barat, luas lahan 7.583 ha , kapasitas produksi sebesar 3.325 ton
4. Tanggamus, luas lahan 7.934 ha, kapasitas produksi sebesar 3.483 ton
5. Lampung Timur luas lahan 5.375 ha, kapasitas produksi sebesar 1.064 ton
6. Pesisir Barat luas lahan 3.226 ha, kapasitas produksi sebesar 1.442 ton
7. Kabupaten/ kota lain dengan luas mulai 1 sampai 100 hektar dengan produksi ratusan ton.
Sumber : Disbun Lampung
Ironi Revitalisasi Lada Pemprov Lampung
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi memiliki program Petani Berjaya. Jargon revitalisasi lada sedari awal menjabat seperti jalan di tempat. Tidak ada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program ini.
Petani lada seperti berjalan sendiri. Revitalisasi lada justru hanya dibalut dengan program seremonial. Seperti Festival Rempah dan Lada yang dilaksanakan awal Oktober 2023.
Nyaris tak melibatkan petani, hanya kegiatan ekslusifme dilaksanaan di perkotaan. Apalagi jika ditanya secara konkret dan detail program revitalisasi lada.
Gubernur dalam sebuah kesempatan mengakui, dibalik besarnya potensi dan sumbangsih lada bagi Lampung, masih banyak masalah yang dihadapi diantaranya produktivitas perkebunan yang belum optimal karena serangan hama dan penyakit, perubahan iklim, penurunan tingkat kesuburan tanah, dan lemahnya permodalan petani serta pengaruh pasar.
“Komoditas unggulan lada ini, dari awal saya masukkan dalam agenda kerja utama saya yaitu revitalisasi lada,” kata Arinal.
Bahkan dia mengakui sudah banyak upaya namun sampai kini belum mampu mengembalikan kejayaan lada Lampung. (*)